Photo Gallery

Saturday, October 25, 2008

Puasa Politik.

Ada penggal waktu untuk jeda. Seperti pepohonan yang meranggas di musim gugur. Saat dedaunan luluh simpuh, gugur-tafakur, pulang ke akar, menjadi pupuk kehidupan. Adapun bagimu, insan beriman, jeda itu bernama Ramadan, yang berarti pembakaran. Saat gumpalan lemak jasmani, nafsani, dan rohani sebagai parasit kehidupan memasuki kremasi penetralan.


Tradisi puasa seumur usia agama-agama. Ketika panggilannya tiba, pedang disarungkan, api dendam diredupkan, ambisi kuasa diredam, untuk memberi sela bagi salam (damai). Di dalam jeda, siapa tahu mata hati yang tertutup awan dendam, kabut kekuasaan, dan gelap kesadaran menemukan berkas sinar.

Puasa mengingatkan manusia bahwa keluhuran jati dirinya jauh melampaui nilai benda dan kuasa; bahwa nafsu at-takatsur (menimbun harta).
Puasa mengingatkan manusia bahwa keluhuran jati dirinya jauh melampaui nilai benda dan kuasa; bahwa nafsu at-takatsur (menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan) telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya menjadi sekadar faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat percobaan. Dan di dalam gravitasi syahwati ini, fitrah agama sebagai pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru secara tragis berubah menjadi penasbih misi penindasan, penghancuran, dan pembodohan.
Di manakah berkah agama jika risalahnya sekadar konsumsi "goyang lidah" yang kedalamannya sebatas tenggorakan? Di manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal perbantahan, dan dalih kekuasaan? Bukankah suatu ironi yang memilukan bahwa aktor utama "komedi omong" ini justru para pemuka agama sendiri?
Di masa sulit ketika orang kecil menjerit, pemuka agama "menjual" ayat untuk menidurkan keresahan, lantas memberi teladan akhlak dengan mengoleksi barang-barang mewah. Tokoh-tokoh organisasi keagamaan yang lain tak kalah "pesona". Satu per satu terjerat korupsi atau melakukan pelanggaran susila. Selebihnya, agama tak habis-habisnya dijadikan sengketa interpretasi dalam persaingan pendakuan kebenaran, sebagai mesiu dalam perebutan kekuasaan.
Bahkan mereka yang sejauh ini terlibat dalam pemberdayaan masyarakat pun hanyut dalam godaan kekuasaan. Bukan untuk memperbaiki keadaan, melainkan berhenti pada rebutan sumber daya kuasa. Sedemikian rupa, sehingga kita tak sempat menyaksikan perwujudan lain gairah keagamaan selain sekadar "budak nafsu".
Jika agama sebagai landasan kritik terhadap berhala/korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan telah menjadi fosil; sementara orang kebanyakan belum menemukan sumber moralitas lain di luar itu, bagaimana bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa menuju husnul khatimah. Bukankah seorang sosialis-anarkis semacam Pierre-Joseph Proudhon sekalipun pernah bilang, "Reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya dari reformasi politik, tetapi reformasi politik mesti tumbuh dari reformasi sosial."
zulfikar payback: Tengoklah, demonstrasi demi demonstrasi, kerusuhan demi kerusuhan, diskusi demi diskusi, persidangan demi persidangan, penggulingan demi penggulingan. Semuanya berakhir pada "komedi omong". Dihadapkan pada tuntutan perubahan, para elite politik masih mengedepankan syahwat kepentingannya ketimbang kemaslahatan umum.
Akrobat demi akrobat politik yang dipertunjukkan wakil-wakil rakyat di Senayan makin jelas menunjukkan kebangkrutan moral kepemimpinan. Padahal, sejarah bertubi-tubi menunjukkan, bilamana pusat pemerintahan sebagai pusat teladan tak bisa lagi dipercaya, kerusuhan dan gerakan-gerakan apokaliptik di wilayah pinggiran akan segera meledak.
Jeda Ramadan diharapkan menjadi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas agama. Ramadan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh tak pernah ada puasanya kecuali dengan puasa (pengendalian diri). Kekuatan self restrain merupakan akar tunjang semua usaha pengendalian sosial.
Ibadah puasa merupakan training ground untuk itu. Kekuatan kendali diri tentu saja harus diperkuat oleh mekanisme kontrol sosial yang mangkus. Ibadah-ibadah sosial yang lain di bulan suci, mulai salat berjamaah hingga zakat fitrah, mestinya menjadi wahana pelatihan kepekaan dan kepatutan sosial.
Sekiranya semua warga mampu "berpuasa", gumpalan lemak yang berlebih pada satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjelma menjadi kolesterol keserakahan sebagai biang kelumpuhan sosial. Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekelilingnya. Sesekali kita pun perlu meranggas, membiarkan egosentrisme terbakar, tersungkur sujud, menginsafi kefanaan dan menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
Pembakaran dan pengorbanan niscaya tidaklah sia-sia. Kematian sesaat akan menumbuhkan kehidupan yang lebih rekah-berkah. Musim semi akan segera menjemput. Dedaunan kembali menghijau. Bunga mekar-segar. Burung-burung pun bernyanyi. Saatnya untuk bercinta. Seperti firman Tuhan, "Sekiranya penduduk suatu negeri 'beriman' (berkhidmat pada kebenaran) dan 'bertakwa' (berakhlak mulia), niscaya akan Kubukakan pintu-pintu berkah dari langit dan bumi."
(ARTIKEL FROM "zulfikar payback" )-;

'

0 comments:

Post a Comment

  © Professional Template Design by Murtadha 2008-2009

Back to TOP