Photo Gallery

Wednesday, October 29, 2008

Agama Pascasekularisme

Oleh Abd. Malik Utsman

Sejarah manusia memasuki zaman yang populer dikenal sebagai era pascamodern atau pascasekuler. Banyak juga kalangan yang menyebut era ini sebagai era kebangkitan agama (revivalisma). Narasi besar modernisme telah runtuh, dan muncul ketertarikan baru untuk melirik narasi-narasi yang terabaikan oleh era modern, termasuk agama. Modernitas dianggap gagal mensejahterakan hidup manusia, dan hanya menyisakan ketegangan (tension), sakit mental, kekerasan, kenakalan remaja, serta kriminilitas.



Will Durant, seorang pemikir antiagama, suatu kali pernah mengatakan, “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah dibunuh pada kali pertama akan mati untuk selamanya, kecuali agama. Seratus kali dibunuh, agama akan muncul lagi dan kembali untuk selamanya.” Petikan ini menyiratkan bahwa agama merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia. Dalam lintasan sejarah, agama selalu menjadi teman setia mendampingi sejarah umat manusia.

Namun di mana posisi agama ketika pelbagai tragedi kemanusiaan terjadi dalam sejarah manusia? Secara normatif, agama selalu mengajak pada hal yang paling luhur dalam jiwa manusia. Tapi, hampir tidak satupun agama bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan seperti peperangan, pelecehan kemanusian, dan pemekosaan kebenaran.

Mestinya, kalau agama selalu stand-by dalam rentang sejarah kemanusiaan, maka agama mestinya ikut bertanggungajwab terhadap itu semua. Makanya, pada titik ini peran agama mendapatkan kecaman dan gugatan. Agama sudah mengalami erosi peran dan krisis wibawa di tengah kehidupan manusia. Agama sebagai media Tuhan untuk mengurai makna dan nilai kehidupan, tidak sanggup menata moral dan etika manusia.

Suatu kali, Kathleen Bliss mensinyalir krisis agama disebabkan adanya gempuran dahsyat “revolusi industri”. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memosisikan agama secara tidak fungsional dan marginal. Hanya kalau dicermati lebih mendalam, pemasalahan mendasar bukan pada hadirnya modernitas. Justru modernitas yang menampilkan eksistensi manusia yang kehilangan orientasi hidup, potensial menjadi peluang bagi agama untuk berperan lebih signifikan.

Agaknya, persoalan muncul karena nalar yang dikembangkan agama tidak sesuai lagi dengan nalar modernitas. Dengan mengutip Wilson, kita tahu bahwa pola agama tidak kondusif dengan etos yang dikembangkan masyarakat modern. Ketidakmampuan agama dalam menyesuaikan diri, menyebabkannya gagal dalam mengurai etika dan moralitas yang dapat menjadi penjaga tatanan sosial manusia. Etika agama begitu kropos untuk mampu menjawab problem baru yang dihadapi manusia; daya tarik agama pun pudar. Manusia tidak lagi tertarik dengan agama, karena beragama dianggap sikap setara dengan pemeliharaan budaya konservatif dan primitif.

Kini sejarah manusia memasuki zaman yang populer dikenal sebagai era pascamodern atau pascasekuler. Banyak juga kalangan yang menyebut era ini sebagai era kebangkitan agama (revivalisma). Narasi besar modernisme telah runtuh, dan muncul ketertarikan baru untuk melirik narasi-narasi yang terabaikan oleh era modern, termasuk agama. Modernitas dianggap gagal mensejahterakan hidup manusia, dan hanya menyisakan ketegangan (tension), sakit mental, kekerasan, kenakalan remaja, serta kriminilitas.

Posisi agama yang pernah dicemooh sebagai penghambat modernitas, desah kaum tertindas, cermin sikap kekanak-kanakan, mendadak berubah menjadi primadona baru. Tapi anehnya, kini agama kembali mengarah ke peran sebagaimana pola masa silam: pertama, formalisme atau ideologisasi agama dan kedua, keberagamaan bercorak mistisisme. Dua pola keberagamaan yang dewasa ini populer itu, nampaknya akan kembali mengulangi kegagalan peran agama di masa lampau.

Pertama, dengan formalisme atau ideologisasi, agama mendadak kembali tenar. Agama kembali tampil percaya diri sebagai ideologi tandingan atas ideologi yang hegemonik. Agama diusung kembali menjadi ideologi, bahkan dipaksa menjadi etika formal masyarakat, atau justru menjadi asas negara. Posisi ini mengisyaratkan balas dendam agama yang merasa dilecehkan oleh sekularisme. Agama kini disanjung tinggi-tinggi di puncak piramida kehidupan bermasyarakat, atau dielu-elukan sebagai dasar negara. Fenomena politik bernalar agama dan agama bernalar politik terlihat. Dengan posisi demikian, bukan tidak mungkin agama akan kembali tenggelam sebagaimana semula. Sebab, pola seperti inilah yang pernah dikutuk habis oleh Zaman Pencerahan.

Bentuk kedua adalah keberagamaan bercorak mistisisme. Di kota-kota besar dewasa ini, masyarakat yang gerah akan gaya hidup modern yang mekanik, lari menuju hal-hal yang berbau mistik. Fenomena ini dapat dicermati dari kecenderungan masyarakat yang merasa lebih terhibur oleh tontonan horor, misteri, dan penyingkapan dunia lain. Pada fenomene tersebut, agama ditempatkan sebagai dewa penyelamat. Agama ditempatkan tidak lebih sebagai pengusir hantu.

Secara psikologis, kecenderungan ini akan mencetak manusia yang cepat lari dari kenyataan, dan antipati akan realitas kemanusiaan. Manusia cenderung lebih senang memuaskan ketegangan psikologinya dengan hal-hal yang berbau mistik, sembari menampik kondisi sosial. Pola keberagamaan seperti ini, pada akhirnya akan mengundang pengeritik untuk mengatakan agama sebagai ruang pengap takhayul yang fantatis, eskapis atau ajang pelestarian fiksi dan imajinasi di alam bawah sadar umat manusia.

Untuk itu, diperlukan kemasan dan cara pandang baru teologi dalam menghadapi era pascasekular. Kegiatan berteologi harus mampu menampilkan peran-peran yang mampu merespon persoalan mendasar kemanusiaan, serta siap menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Sebab persaoalannya, tergusurnya agama di era modern bukan disebabkan serbuan sekularisasi dan modernitas yang amat deras, tapi lebih disebabkan kenyataan agama yang tidak mampu bermain secara progresif dan kontekstual dengan tuntutan zaman.

Maka dari itu, setidaknya ada dua model berteologi yang bisa ditampilkan umat beragama kini. Pertama teologi rasional yang bersedia membuka ruang bagi rasionalitas untuk ikut andil dalam penafsiran ajaran agama dan menyajikan perspektif baru agama yang luas dan lapang. Agama merupakan sekumpulan doktrin yang terbakukan di masa lampau. Sementara problem zaman terus menggelinding tiada henti-hentinya. Pada titik ini, rasio dapat membantu agama dalam menyajikan pendekatan “relevansi sosial” yang mampu menutup gap antara kelambanan agama dan lajunya isu-isu kemanusiaan.

Rasionalitas tidak perlu dicurigai akan meruntuhkan wibawa agama. Sebab rasio merupakan bagian lain penopang agama. Mengutip Bacon, “Little philosophy bringeth men’s mind to atheism, but dept in philosophy bringeth men’s mind about to religion” (Sedikit filsafat akan menjerumuskan akal manusia ke arah ateisme, tapi filsafat yang mendalam akan menggiring akal manusia ke arah agama). Dengan demikian, sangat penting kembali memosisikan akal sebagai anugerah dan amanat yang diberikan Tuhan pada manusia untuk mencari kebenaran.

Kedua, berteologi sosial. Kegiatan berteologi, menurut Paul Tillich adalah kegiatan mempertemukan antara jawaban yang terdapat dalam agama dengan pertanyaan yang muncul dari kenyataan sosial secara dialektis. Berteologi sangat terkait dengan problem sosial. Dalam teologi, umat beragama dituntut untuk mampu mentranformasi nilai-nilai transendental ketuhahan ke dalam nilai-nilai imanen kemanusiaan. Mengatasi peperangan, kemiskinan, pemerkosaan hak-hak asasi manusia, serta berkorban untuk problem sosial merupakan salah satu wujud konkrit panggilan Tuhan.

Makanya, agama menurut Mutahhari adalah fitrah manusia. Kefitrahan itu harus terus dipertahankan agar agama dapat bertahan sebagai entitas yang salih untuk tiap ruang dan waktu.Dengan cara berteologi seperti di atas, kesesuaian agama di sepanjang zaman akan dapat bertahan. Agama tidak lagi akan dipandang sebagai penghambat perubahan, tapi akan dianggap sebagai “penghalus” modernitas, sebagaimana ungkapan Georg Simmel.[]

Read more...

Tuesday, October 28, 2008

Menuju Teori Sastra Dalam Negeri

Berbagai cara dapat kita lakukan untuk dapat mengenal dan mengetahui teori sastra. Salah satu cara yang umum kita lakukan adalah mengenal teori sastra Barat. Dari membaca buku dalam bahasa aslinya (Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman) sampai membaca buku melalui terjemahan, seperti buku Rene Wellek dan Austin Warren (1949) Theory of Literature (diterjemahkan Melani Budianta menjadi Teori Kesusastraan, 1989)

, buku D.W. Fokkema dan Elrud Kunne-Ibsch (1977) Theories of Literature in the Twentieth Century (diterjemahkan J. Praptadiharja dan Kepler Silaban menjadi Teori Sastra Abad Kedua Puluh, 1998), buku Raman Selden (1985) A Reader’s Guide to Contemporary Literary Theory (diterjemahkan Rachmat Djoko Pradopo menjadi Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini, 1991), buku Tzvetan Todorov (1968) Qu’est-ce que le structuralisme? Poétique (diterjemahkan Okke K.S. Zaimar, Apsanti Djokosuyatno, dan Talha Bachmid menjadi Tata Sastra, 1985), dan buku Jan van Luxemburg, Mieke Bal, Willem G. Weststeijn (1982, 1987) Inleiding in de Literatuurwetenschap dan Over Literatuur (buku pertama diterjemahkan Dick Hartoko menjadi Pengantar Ilmu Sastra, 1984, dan buku kedua diterjemahkan Akhadiati Ikram menjadi Tentang Sastra, 1989), atau kita berkenalan langsung dengan teori sastra Barat itu dengan cara membaca buku A. Teeuw (1984) Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra.
Berdasarkan data di atas jelas bahwa buku teori sastra yang beredar di Indonesia pada umumnya ditulis oleh penulis asing, dan terutama tentang teori sastra Barat. Orang Indonesia pada umumnya baru sampai pada taraf menjadi penerjemah. Namun, ada satu dua orang yang sudah memberanikan diri menulis buku teori sastra yang bersumber dari buku teori sastra Barat tersebut, yaitu Joseph Yapi Taum (1997) Pengantar Teori Sastra dan Budi Darma (2004) Pengantar Teori Sastra. Kedua-duanya memberi judul buku yang sama dan mencoba meramu, merumuskan, dan memberi penjelasan tentang teori sastra–terutama teori sastra Barat–dengan sudut pandang, fokus bahasan, dan gaya penyajian yang berbeda.
Buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis Joseph Yapi Taum terdiri atas 6 bab, yaitu (1) Pendahuluan, (2) Teori-Teori Ekspresivisme: Munculnya Paham Individualisme dan Otonomi, (3) Teori Formalisme, Strukturalisme, Semiotik, dan Dekonstruksi, (4) Teori-Teori Sosiologi Sastra, (5) Teori-Teori Resepsi Sastra, dan (6) Catatan Penutup: Hakikat dan Relevansi Teori Sastra. Sementara itu, buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis Budi Darma ini hanya terdiri atas 5 bab, yaitu Bab I Sastra dan Studi Sastra, Bab II Makna Sastra, Bab III New Criticism (Kritik Sastra Baru), Bab IV New Criticism dan Strukturalisme, dan Bab V Psikologi dan Sastra. Melihat daftar isi dari kedua buku yang berjudul sama tentu sudah dapat kita rasakan perbedaannya. Apa dan bagaimana bedanya?
Joseph Yapi Taum dalam bukunya Pengantar Teori Sastra itu mencoba menstransformasikan teori-teori sastra Barat dengan sudut pandang dan fokus bahasan berorientasi pada teori pendekatan M.H. Abrams–meliputi ekspresif, objektif, mimetik, pragmatik–yang dikombinasikan dengan teori komunikasi linguistik Roman Jakobson, yang meliputi pengirim, pesan, pendengar, konteks, hubungan, dan kode. Dari dua pakar teori sastra itu, Abrams dan Jakobson, dihasilkan kecenderungan teori sastra yang ada hingga kini, meliputi Romantik, Marxis, Formalistik, Strukturalistik, dan Orientasi Pembaca. Dasar pandangan kedua pakar teori sastra itulah yang dijabarkan oleh Joseph Yapi Taum dalam bukunya Pengantar Teori Sastra , setebal 83 halaman yang diterbitkan oleh Nusa Indah, Ende-Flores.
Pengantar Teori Sastra yang ditulis Budi Darma ini diluncurkan oleh Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, bertepatan dengan “Pembukaan Bulan Bahasa dan Sastra 2005" di Pusat Bahasa, Jakarta, 19 September 2005. Sebagai sebuah buku pengantar ilmu sastra, Pengantar Teori Sastra, yang ditulis Budi Darma ini cukup berat bagi mahasiswa S-1 atau pembaca pemula. Bobot keberatan bagi pembaca pemula itu tidak hanya menyangkut pokok bahasan, bahasa, dan penyajian, tetapi juga daftar pustaka atau bibliografi yang menjadi acuan buku ini. Daftar bibliografi yang tertera (halaman 160–162) mencakupi 36 judul buku atau artikel, hanya terdapat 3 yang berbahasa Indonesia/Melayu, yaitu “Kritik Cerpen: Seni” tulisan Budi Darma sendiri, Kritikan Sastra Moden: Teori dan Pendekatan yang ditulis Mana Sikana (Malaysia), dan terjemahan Melani Budianta Teori Kesusastraan. Jadi, lebih dari 90% bibliografinya berbahasa asing, terutama Inggris, yang tentunya di Indonesia buku-buku itu sulit ditemukan.
Budi Darma membedakan ruang lingkup sastra adalah kreativitas penciptaan dan ruang lingkup studi sastra adalah ilmu dengan sastra sebagai objeknya. Fokus sastra adalah kreativitas (puisi, drama, novel, dan cerpen), dan fokus studi sastra adalah ilmu (teori, kritik, dan sejarah sastra). Pertanggungjawaban sastra adalah estetika, dan pertanggungjawaban studi sastra adalah logika, demikian Budi Darma mengawali tulisannya dalam “Bab I Sastra dan Studi Sastra” yang dilanjutkan dengan pembahasan subbab yang lainnya, yaitu “Teks dan Konteks”, “Cabang Studi Sastra”, “Sastra Serius dan Sastra Hiburan”, “Kriteria Sastra”, “Belle Lettres dan Literature”, “Kanon Sastra”, “Intrinsik, Ekstrinsik, dan Sastra Mainstream”, “Letak Teori Sastra”, dan diakhiri dengan pembahasan “Lima Cabang Studi Sastra”. Cukup banyak subbab yang disampaikan dalam Bab I ini, tetapi pembahasannya hanya selintas, kadang cuma tiga alinea.
Dalam Bab II ,“Makna Sastra”, Budi Darma mencoba menjelaskan kaitan sastra dan studi sastra dengan bidang yang lain, seperti filsafat, pemikiran, mimesis, fiksionalitas, weltanschauung, dan world view. Contoh karya sastra yang digunakan untuk menjelaskan makna sastra adalah Belenggu karya Armijn Pane yang minus moral dan tinggi estetika atau sebaliknya Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana yang minus estetika dan tinggi moral seperti menggurui. Sementara itu, karya sastra dunia yang digunakan contoh untuk menjelaskan makna sastra ini, antara lain, drama Julius Caesar karya William Shakespeare, Mitos Sisipus dan Orang Asing karya Albert Camus, Nausea dan No Exit karya Jean-Paul Sartre, Dr. Faustus dan Tamburlaine the Great karya Christopher Marlowe, Anna Karenina karya Leo Tolstoy, Faust karya Goethe, Emilia Galotti karya Lessing, serta The Mill on the Floss karya George Eliot. Apabila kita tidak pernah membaca karya dunia itu, tentu kita akan mengalami kesulitan memahami penjelasan guru besar ilmu sastra dari Universitas Negeri Surabaya dalam Bab II ini.

Penjelajahan ke mashab teori sastra New Criticism (Kritik Sastra Baru) dan Strukturalisme dapat kita ikutan dalam Bab III dan IV. New Criticism yang lahir sebagai reaksi terhadap kritik sastra sejarah dan kritik sastra biografi, meskipun hanya hidup selama 20 tahun (1940–1960), dalam praktiknya hingga kini masih banyak diterapkan oleh kritikus dan peneliti sastra. Budi Darma mencatat ada 12 langkah kerja New Criticism, yaitu close reading, empiris, otonomi, concreteness, bentuk (form), diksi (pilihan kata), tone (nada), metafora, simile, onomatopea, paradoks, dan ironi. Titik berat kajian New Criticism adalah puisi. Ada sepuluh hal kesulitan memahami puisi yang digunakan sebagai pedoman orang-orang New Criticism, yaitu making out the plain sense of poetry, sensuous apprehension, visual imagery, mnemonic irrelevancies, stock response, sentimentalities, inhibition, doctrinal adhesions, technical presuppositions, dan general critical preconception.
Bersamaan dengan New Criticism, lahir pulalah mashab baru Formalisme Rusia yang lebih berorientasi pada bentuk (form) dengan titik berat kajian pada narasi atau cerita. Formalisme Rusia inilah yang menjadi cikal bakal Aliran Praha atau Strukturalisme Praha. Selain berorientasi pada bentuk, mereka juga menganggap penting otonomi, karya sastra adalah sesuatu yang mandiri dan berdiri sendiri. Dari kedua aliran itulah kemudian berkembang menjadi strukturalisme yang luas di Amerika Serikat dan Eropa. Strukturalisme yang berkembang masuk ke berbagai bidang ilmu, seperti linguistik, sastra, antropologi, mitologi, sejarah, dan psikologi. Kedekatan strukturalisme dengan zaman purba, terutama mitologi, dan kepercayaan dengan menampik eksistensialisme, dicap sebagai primitivisme. Jasa strukturalisme tidak dapat dihilangkan begitu saja dalam percaturan dunia ilmu, terutama dengan filsafat fenomenologi dan hermeneutika.
Budi Darma menutup tulisannya dengan Bab V “Psikologi dan Sastra”. Psikologi pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan mitologi Yunani Kuno, misalnya ‘histeria’, ‘oedipus kompleks’, dan ‘narsisisme’. Mitologi Yunani Kuno termasuk kategori sastra. Itulah sebabnya, Budi Darma dalam bab ini menjelaskan hubungan “Freud dan Mitologi”, “Psikologi, Seni, dan Sastra”, “Psikologi Personalitas”, “Psikologi Behaviorisme”, “Psikoanalisis (Sigmund Freud, Carl Gustav Jung, Jacques Lacan)”, dan “Psikoanalisa dalam Strukturalisme (Ferdinand Lacan)”. Bagaimana pun psikologi dan sastra tidak dapat dipisahkan dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Kedua bidang itu saling meresap satu dengan yang lainnya. Ada psikologi pengarang, psikologi pembaca, dan psikologi tokoh dalam karya sastra.
Buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis oleh Budi Darma ini meski tampak bersahaja, baik kulit luar bukunya maupun bab penyajiannya, kualitas isi buku ini boleh diandalkan. Apalagi buku itu ditulis oleh orang Indonesia sendiri yang memiliki pengetahuan dan kemampuan yang luas. Hal itu tentu sangat mendorong lahirnya teori (dan kritik) sastra produksi dalam negeri. Sebagai pembuka jalan “Menuju Teori (dan Kritik) Sastra Produksi dalam Negeri”, buku Pengantar Teori Sastra yang ditulis oleh Budi Darma ini boleh kita acungi jempol. Kekurangan dalam buku ini tentu jelas ada. Penggunaan istilah, contoh karya sastra, dan penyunting buku yang kurang paham dengan sastra membuat banyak kelemahan buku ini. Apalagi kalau pembaca menuntut sebuah teori sastra yang lengkap, utuh, dan terpadu, baik teori sastra Barat maupun Timur, tentu buku ini jauh dari memadai. Apa mau dikata, inilah wajah orang Indonesia yang berpendidikan Barat menulis buku acuan teori sastra

Read more...

Hermeneutika dan Interpretasi Sastra

Kajian sastra, apa pun bentuknya, berkaitan dengan suatu aktivitas yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi sastra dan kritik sastra, pada awal dan akhirnya, bersangkutpaut dengan karya sastra yang harus diinterpreatasi dan dimaknai.

Semua kegiatan kajian sastra--terutama dalam prosesnya--pasti melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan. Atas dasar itulah hermeneutika perlu diperbincangkan secara komprehensif guna memperleh pemahaman yang memadai.
Dalam hubungan ini, mula-mula perlu disadari bahwa interpretasi dan pemaknaan tidak diarahkan pada suatu proses yang hanya menyentuh permukaan karya sastra, tetapi yang mampu "menembus kedalaman makna" yang terkandung di dalamnya. Untuk itu, interpreter (si penafsir) mesti memiliki wawasan bahasa, sastra, dan budaya yang cukup luas dan mendalam.
Berhasil-tidaknya interpreter untuk mencapai taraf interpretasi yang optimal, sangat bergantung pada kecermatan dan ketajaman interpreter itu sendiri. Selain itu, tentu saja dibutuhkan metode pemahaman yang memadai; metode pemahaman yang mendukung merupakan satu syarat yang harus dimiliki interpreter. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan para ahli sastra dalam memahami karya sastra, metode pemahaman hermeneutika dapat dipandang sebagai metode yang paling memadai.
Pada mulanya hermeneutika adalah penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Namun, dalam kurun berikutnya, lingkupnya berkembang dan mencakup masalah penafsiran secara menyeluruh (Eagleton, 1983: 66). Dalam perkembangan hermeneutika, berbagai pandangan terutama datang dari para filsuf yang menaruh perhatian pada soal hermeneutika. Ada beberapa tokoh yang dapat disebutkan di sini, di antaranya: F.D.E. Schleirmacher, Wilhelm Dilthey, Martin Heidegger, Husserl, Emilio Betti, Hans-Georg Gadamer, Jurgen Habermas, Paul Ricoeur, dan Jacques Derrida. Pada prinsipnya, di antara mereka ada beberapa kesamaan pemikiran yang dimiliki, terutama dalam hal bagimana hermeneutika jika dikaitkan dengan studi sastra khususnya dan ilmu-ilmu humaniora dan sosial pada umumnya. Di samping itu, terdapat pula perbedaan dalam cara pandang dan aplikasinya. Terjadinya perbedaan tersebut pada dasarnya karena mereka menitik-beratkan pada hal yang berbeda atau beranjak dari titik tolak yang berbeda.
Dalam konteks itulah berbagai pemikiran dan cara aplikasi hermeneutika tersebut perlu dibahas secara khusus. Dalam hal ini ada berbagai pemikiran dari empat pemikir yang akan digunakan untuk mengkajinya. Beberapa pemikir termaksud adalah Andre Lefevere (1977), Terry Eagleton (1983), M.J. Valdes (1987), dan G.B. Madison (1988).
Bertolak dari empat pemikir itulah pembahasan ini akan berupaya mengetengahkan kembali hasil pemahaman secara komprehensif tentang hermeneutika. Di samping itu, juga diupayakan menjelaskan pembahasan apakah hermeneutika dalam interpretasi sastra sebagai konsep metodologis atau ontologis.
Konsep Dasar Kemunculan Hermeneutika
Hermeneutika sebenarnya merupakan topik lama, namun kini muncul kembali sebagai sesuatu yang baru dan menarik, apalagi dengan berkembangnya ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sastra sebagai bagian ilmu humaniora merupakan salah satu bidang yang sangat membutuhkan konsep hermeneutika ini. Dengan demikian, hermeneutika seakan-akan bangkit kembali dari masa lalu dan dianggap penting.
Untuk memahami substansi hermeneutika, sebenarnya dapat dikembalikan kepada sejarah filsafat dan teologi, karena hermeneutika tampak dikembangkan dalam kedua disiplin tersebut. Selanjutnya, perkembangan pemikiran tentang hermeneutika secara lambat laun merebak ke berbagai area disiplin lainnya, termasuk juga pada disiplin sastra.
Apabila ditelusuri perihal sejarah perkembangan hermeneutika, khususnya hermeneutika teks-teks, pada awalnya tampak dalam sejarah teologi, dan lebih umum lagi dalam sejarah permikiran teologis Yudio-Krisitiani. Lefevere (1977: 46) menyebutnya sebagai sumber-sumber asli, yakni yang bersandarkan pada penafsiran dan khotbah Bibel agama Protestan (bdk. Eagleton, 1983: 66). Secara lebih umum, hermeneutika di masa lampau memiliki arti sebagai sejumlah pedoman untuk pemahaman teks-teks yang bersifat otoritatif, seperti dogma dan kitab suci. Dalam konteks ini, dapatlah diungkapkan bahwa herme-neutika tidak lain adalah menafsirkan berdasarkan pemahaman yang sangat mendalam. Dengan perkataan lain, menggunakan sesuatu yang "gelap" ke sesuatu yang "terang".
Perlu diketahui, kemunculan hermeneutika dalam ilmu-ilmu sosial merupakan perkembangan yang menarik. Berbagai anggapan muncul mewarnai pertanyaan mengapa hermeneutika berkembang dalam ilmu-ilmu sosial. Sehubungan dengan itu, Eagleton (1983: 60) melihat bahwa kemunculannya itu lebih dilatarbelakangi oleh adanya krisis ideologi di Eropa, yang pada masa itu ilmu semakin menjadi positivisme yang mandul karena subjektivisme yang sulit dipertahankan. Konsekuensinya, muncullah beberapa tokoh yang mencoba menawarkan alternatif, di antaranya adalah Husserl. Ia menolah sikap yang terlalu ilmiah (Eagleton, 1983: 60-61).
Sehubungan dengan itu, Madison (1988: 40) juga mengatakan bahwa masalah status epistemologi ilmu-ilmu sosial atau kemanusiaan menjadi bahan pembahasan secara terus-menerus selama beberapa dekade. Namun, yang paling prinsip diungkapkannya di sini adalah bagaimana sumbangan Husserl tentang "penjelasan" dan "pemahaman" dalam hermeneutika. Dua konsep ini kemudian dipertegas oleh M.J. Valdes (1987: 56-57) dengan mengemukakan teori relasional tentang sastra dan menolak validitas dari semua klaim terhadap berbagai interpretasi yang definitif. Mereka memandang pentingnya subjek dalam posisi respons, sehingga karya sastra klasik tidak diinterpreasi secara definitif melainkan terus-menerus. Karya-karya klasik seperti karya Aristoteles, Dante, Shakespeare, Goethe, Keats, Proust, dan sebagainya, tidak cukup diinterpretasi sekali, tetapi perlu diinterpretasi secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.,p> Hermeneutika dikatakan Dilthey diterapkan pada objek geisteswissen-schaften (ilmu-ilmu budaya), yang menganjurkan metode khusus yaitu pemahaman (verstehen)(1). Perlu dikemukakan bahwa konsep "memahami" bukanlah menjelaskan secara kausal, tetapi lebih pada membawa diri sendiri ke dalam suatu pengalaman hidup yang jauh, sebagaimana pengalamaan pengobjektifan diri dalam dokumen, teks (kenangan tertulis), dan tapak-tapak kehidupan batin yang lain, serta pandangan-pandangan dunia (welstancauunganen) (Madison, 1988: 41). Dalam dunia kehidupan sosial-budaya, para pelaku tidak bertindak menurut pola hubungan subjek-objek, tetapi berbicara dalam language games (permainan bahasa) yang melibatkan unsur kognitif, emotif, dan visional manusia. Keseluruhan unsur tersebut bertindak dalam kerangka tindakan komunikatif, yaitu tindakan untuk mencapai pemahaman yang timbal balik.
Pandangan Lefevere tentang Hermeneutika dalam Interpretasi Sastra
Lefevere (1977: 46-47) memandang bahwa ada tiga varian hermeneutika yang pokok. Dari ketiga varian tersebut, tidak satu pun dapat melepaskan diri sepenuhnya dari sumber asalnya, yakni penafsiran terhadap kitab-kitab suci. Konsekuensinya, gaya tulisan menjadi berbelit-belit dan hampir tidak pernah jelas, dan ini menjadi ciri khas berbagai tulisan hermeneutika. Permainan kata yang bertele-tele dan ungkapan khusus turut membuat hermeneutika membosankan. Kenyataan ini dapat mengaburkan substansi hermeneutika yang sesungguhnya sangat bernilai.
Jika orang menyadari bahwa tulisan yang hermeneutis kebanyakan dibuat dalam gaya seperti itu, orang akan sedikit memahami mengapa dialog nyata antar para penganut aliran hermeneutika dan positivis logis begitu sulit untuk diprakarsai. Kendati demikian, dalam kehidupan akademik saat ini, tentunya asumsi-sumsi itu tidak relevan dengan perma-inan kata, yang di dalamnya kita turut ambil bagian.
Ketiga varian yang dimaksudkan Lefevere adalah: pertama, hermeneutika tradisional (romantik); kedua, hermeneutika dialektik; dan ketiga, hermeneutika ontologis. Perlu dikemukakan, di satu sisi, ketiga varian itu sepakat dengan pendefinisian sastra sebagai objektivisasi jiwa manusia, yang pada dasarnya bisa diamati, dijelaskan, dan dipahami (verstehen). Di sisi lain, ketiga varian hermeneutika itu berbeda dalam menginterpretasi verstehen-nya. Untuk itu, selanjutnya perlu dijelaskan bagaimana ketiga varian hermeneutika itu dalam kerangka kajian sastra, mulai hermeneutika tradisional, dialektik, hingga ontologis.
Hermeneutika Tradisional
Refleksi kritis mengenai hermeneutika mula-mula dirintis oleh Friedrich Schleiermacher, kemudian dilanjutkan Wilhelm Dilthey. Hermeneutika yang mereka kembangkan kemudian dikenal dengan "hermeneutika tradisional" atau "romantik". Mereka berpandangan, proses versetehen mental melalui suatu pemikiran yang aktif, merespons pesan dari pikiran yang lain dengan bentuk-bentuk yang berisikan makna tertentu (Lefevere, 1997: 47). Pada konteks ini dapat diketahui bahwa dalam menafsirkan teks, Schleiermacher lebih menekankan pada "pemahaman pengalaman pengarang" atau bersifat psikologis, sedangkan Dilthey menekankan pada "ekspresi kehidupan batin" atau makna peristiwa-peristiwa sejarah. Apabila dicermati, keduanya dapat dikatakan memahami hermeneutika sebagai penafsiran reproduktif. Namun, pandangan mereka ini diragukan oleh Lefevere (1977: 47) karena dipandang sangat sulit dimengerti bagaimana proses ini dapat diuji secara inter-subjektif. Keraguannya ini agaknya didukung oleh pandangan Valdes (1987: 58) yang menganggap proses seperti itu serupa dengan teori histori yang didasarkan pada penjelasan teks menurut konteks pada waktu teks tersebut disusun dengan tujuan mendapatkan pemahaman yang definitif.
Jika diapresisasi secara lebih jauh, Lefevere tampak juga ingin menyatakan adanya cara-cara pemahaman yang berbeda pada ilmu-ilmu alam (naturwissen schaften). Baginya, ilmu-ilmu alam lebih mendekati objeknya dalam erklaren (2), dan ilmu-ilmu sosial serta humanistis (geisteswissenschaften) lebih mendekati objeknya dengan versetehen. Selain itu, perlu dikatakan bahwa cara kerja ilmu-ilmu alam lebih banyak menggunakan positivisme logis dan kurang menggunakan hermeneutika. Cara semacam itu tentu saja sangat sulit diterapkan pada ilmu-ilmu sosial dan humaniora (1977: 48), apalagi secara spesifik dalam karya sastra karena menurut Eagleton (1983) "dunia" karya sastra bukanlah suatu kenyataan yang objektif, tetapi Lebenswelt (bahasa Jerman), yakni kenyataan seperti yang sebenarnya tersusun dan dialami oleh seorang subjek.
Menurut Lefevere, varian hermeneutika tradisional ini juga menganut pemahaman yang salah tentang penciptaan. Varian ini agaknya cenderung mengabaikan kenyataan bahwa antara pengamat dan penafsir (pembaca) tidak akan terjadi penafsiran yang sama karena pengalaman atau latar belakang masing-masing tidak pernah sama. Dengan demikian, teranglah di sini bahwa varian ini tidak mempertimbangkan audience (pembacanya). Peran subjek pembaca sebagai pemberi respon dan makna diabaikan (1977: 47-48); Eagleton, 1983: 59; Valdes, 1987: 57; Madison, 1988: 41). Yang jelas, varian ini terlalu berasumsi bahwa semua pembaca memiliki pengetahuan dan penafsiran yang sama terhadap apa yang diungkapkan.
Kelemaham yang ditampakkan dalam varian hermeneutika tradisional, sebagaimana diungkapkan oleh Lefevere, karena berpegang pada cara berpikir kaum positivis yang menganggap hermeneutika (khususnya versetehen) hanya "menghidupkan kembali" (mereproduksi). Sejalan dengan Betti, Lefevere membenarkan bahwa interpretasi tidak mungkin identik dengan penghidupan kembali, melainkan identik dengan rekonstruksi struktur-struktur yang sudah objektif, dan perbedaan interpretasi merupakan suatu hal yang dapat terjadi. Maksudnya, penafsir dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dmunculkan oleh objek tersebut kepadanya (Lefevere, 1977: 49). Hal ini menurut Lefevere merupakan soal penting yang harus dilakukan dalam penafsiran teks sastra.
Hermeneutika Dialektik
Varian hermeneutika dialektik ini sebenarnya dirumuskan oleh Karl Otto Apel. Ia mendefinisikan versetehen tingkah laku manusia sebagai suatu yang dipertentangkan dengan penjelasan berbagai kejadian alam. Apel mengatakan bahwa interpretasi tingkah laku harus dapat dipahami dan diverifikasi secara intersubjektif dalam konteks kehidupan yang merupakan permainan bahasa (Lefevere, 1977: 49).
Sehubungan dengan hal itu, lebih jauh Lefevere (1977: 49) menilai bahwa secara keseluruhan hermeneutika dialektik yang dirumuskan Apel sebenarnya cenderung mengintegrasikan berbagai komponen yang tidak berhubungan dengan hermeneutika itu sendiri secara tradisional. Apel tampakanya mencoba memadukan antara penjelasan (erklaren) dan pemahaman (verstehen); keduanya harus saling mengimplikasikan dan melengkapi satu sama lain. Ia menyatakan bahwa tidak seorang pun dapat memahami sesuatu (verstehen) tanpa pengetahuan faktual secara potensial.
Dengan demikian, pandangan Apel tersebut sebenarnya mengandung dualitas. Di satu sisi, tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial. Di sisi lain, sekaligus tidak ada ilmuwan alam yang dapat menjelaskan sesuatu secara potensial tanpa pemahaman intersubjektif. Dalam hal ini teranglah bahwa "penjelasan" dan pemahaman" dibutuhkan, baik pada ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan (geistewissenschaften) maupun ilmu-ilmu alam (naturwissen-shacften) (Lefevere, 1977: 49). Pandangan Apel itu dapat dinilai sebagai pikiran modern, karena dia mencoa mempertemukan kedua kutub tersebut sebagaimana yang juga diakui oleh Madison (1988: 40). Secara umum, soal ini dipertimbangkan sebagai masalah dalam filsafat ilmu (filsafat pengetahuan). Masalah inilah yang banyak dikupas secara panjang lebar oleh Madison. Dia mengungkapkan bagaimana pandangan Apel dan sumbangan Husserl. Pada intinya, Madison menyatakan bahwa penjelasan bukanlah sesuatu yang berlawanan dengan pemahaman (1988: 47-48). Selanjutnya, dalam sudut pandang hermeneutika, Madison mengatakan bahwa penjelasan bukanlah suatu yang secara murni atau semata-mata berlawanan dengan pemahaman, dan bukan pula merupakan suatu yang bisa menggantikan pemahaman secara keseluruhan. Penjelasan lebih merupakan tatanan penting dan sah dalam pemahaman yang tujuan akhirnya adalah pemahaman diri (Madison, 1988: 49).
Inti varian hermeneutika dialektik tersebut-yang tidak mempertentangkan "penjelasan" dengan "pemahaman"-sejalan dengan pandangan Valdes. Dalam pandangannya, bagaimana ia menganggap penting "penjelasan" dan "pemahaman" untuk menjelaskan prinsip interpretasi dalam beberapa teori utamanya, yakni teori historis, formalis, hermeneutika filosofis, dan poststrukturalis atau dekonstruksi (1987: 57-59).
Dalam varian hermeneutika dialektik ini, definisi verstehen yang dikemukakan Apel mengimplikasikan pengertian bahwa tidak ada yang tidak dapat dilakukan ilmuwan. Jika ilmuwan mencoba memahami fenomena tertentu, ia akan menghubungkan dengan latar belakang aturan-atuaran yang diverifikasi secara intersubjektif sebagaimana yang dikodifikasi pada hukum-hukum dan teori-teori. Pengalaman laboratorium pun turut mempengaruhi ilmuwan dalam memahami apa saja yang tengah ditelitinya. Dengan demikian, jelaslah bahwa verstehen pada dasarnya berfungsi untuk memahami objek kajiannya.
Dalam hubungan itu, Gadamer (Lefevere, 1977: 50) mengatakan bahwa semua yang mencirikan situasi penetapan dan pemahaman dalam suatu percakapan memerlukan hermeneutika. Begitu pun ketika dilakukan pemahaman terhadap teks. Namun, dalam hal ini menarik jika mencermati pandangan Lefevere. Ia menyatakan bahwa suatu pemahaman yang hanya berdasar pada analogi-analogi dan metafor-metafor dapat menimbulkan kesenjangan. Atas dasar itulah Lefevere berpandangan bahwa verstehen tidak dapat dipakai sebagai metode untuk mendekati sastra secara tuntas. Pandangannya ini dapat dimaklumi, mengingat dalam memahami sastra, pemahaman tidak dapat dilakukan hanya dengan berpijak pada teks semata, tetapi seharusnya juga konteks dan subjek penganalisisnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa realitas teks adalah realitas yang sangat kompleks yang tidak cukup dipahami dalam dirinya sendiri.
Hermeneutika Ontologis
Varian yang terakhir adalah hermeneutika ontologis. Aliran hermeneutika ini digagas oleh Hans-Georg Gadamer. Dalam mengemukakan deskripsinya, ia bertolak dari pemikiran filosof Martin Heidegger. Sebagai penulis kontemporer dalam bidang hermeneutika yang sangat terkemuka, Gadamer tidak lagi memandang konsep verstehen sebagai kosep metodologis, melainkan memandang verstehen sebagai pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis.
Verstehen, menurut Gadamer, merupakan jalan keberadaan kehidupan manusia itu sendiri yang asli. Varian hermeneutika ini menganggap dirinya bebas dari hambatan-hambatan konsep ilmiah yang bersifar ontologis (Lefevere, 1977: 50). Dalam hal ini, agaknya Gadamer menolak konsep hemeneutika sebagi metode. Kendatipun menurutnya hermeneutika adalah pemahaman, dia tidak menyatakan bahwa pemahaman itu bersifat metodis.
Dalam sudut pandang Gadamer, masalah hermeneutika merupakan ma-salah aplikasi yang berhenti pada semua verstehen. Kendatipun memperlihatkan kemajuan pandang yang luar biasa, pandangan Gadamer juga masih tidak lepas dari kritikan yang diajukan Lefevere. Lefevere (1977: 50) menganggap bahwa varian ketiga ini masih mencampuradukkan kritik dengan interpretasi. Dalam hal ini Lefevere sepertinya menganggap perlu menentukan batas kritik dengan interpretasi. Bagi Lefevere, dalam varian ini tampak Gadamer lebih mementingkan "rekreasi". Maksudnya, ia tidak memandang proses pemahaman makna terhadap teks itu sebagai jalan "reproduktif", tetapi sebagai jalan "produktif".
Berbeda halnya dengan apresiasi Lefevere, Valdes justru melihat bahwa apa yang dikembangkan Gadamer dalam Hermenetika filosofis itu dianggap menjadi basis kritik sastra yang lebih memuaskan. Dialektika dari hermeneutika filosofis dipandang merupakan inti yang menyatukan semua kelompok teori yang dilontarkan oleh para pemikir yang berbeda-beda, seperti Gadamer, Habermas, dan Ricoeur (1987: 59)
Konsep hermeneutika ontologis Gadamer, yang bertitik tolak pada teks, didukung sepenuhnya dalam kata-kata Ricoeur. Ia menyatakan bahwa teks merupakan sesuatu yang bernilai, jauh melebihi sebuah kasus tertentu dari komunikasi intersubjektif. Teks memainkan sebuah karakteristik yang fundamental dari satu-satunya historisitas pengalaman manusia, yakni teks merupakan komunikasi dalam dan melalui jarak (Valdes, 1987: 61-62; Madison, 1988: 45). Oleh karena itu, tampak di sini Gadamer mengikuti filsafat Heidegger yang berusaha mencari hubungan dengan fenomena. Dengan demikian, dalam varian ini Gadamer mengembalikan peran subjek pembaca selaku pemberi makna-yang hal ini dinaifkan dalam hermeneutika tradisional.
Hermeneutika dan Interpretasi Sastra
Hermeneutika yang berkembang dalam interpretasi sastra sangat berkait dengan perkembangan pemikiran hermeneutika, terutama dalam sejarah filsafat dan teologi karena pemikiran hermeneutika mula-mula muncul dalam dua bidang tersebut, sebagaimana dikemukakan. Untuk memahami hermeneutika dalam interpretasi sastra, memang diperlukan pemahaman sejarah hermeneutika, terutama megenai tiga varian hermeneutika seperti yang dikemukakan Lefevere (hermeneutika tradisional, dialektik, dan ontologis). Yang jelas, dengan pemahaman tiga varian hermeneutika tersebut, niscaya akan lebih memungkinkan adanya pemahaman yang memadai tentang hermeneutika dalam sastra.
Selama ini, hermeneutika merupakan salah satu model pamahaman yang paling representatif dalam studi sastra, karena hakikat studi sastra itu sendiri sebenarnya tidak dari interpretasi teks sastra berdasar pemahaman yang mendalam. Namun, sebagaimana dikatakan Lefevere (1977: 51), hermeneutika tidak mempunyai status khusus dan bukan merupakan model pemahaman yang secara khusus begitu saja diterapkan dalam sastra, karena sastra merupakan objektivitas jiwa manusia. Beranjak dari apa yang dikatakan Lefevere jelaslah bahwa sesungguhnya diperlukan pengkhususan jika hermeneutika mau diterapkan dalam sastra, mengingat objek studi sastra itu adalah karya estetik.
Dalam perkembangan teoriteori sastra kontemporer juga terlihat bahwa ada kecenderungan yang kuat untuk meletakkan pentingnya peran subjek pembaca (audience) dalam menginterpretasi makna teks. Kecenderungan itu sangat kuat tampak pada hermeneutika ontologis yang dikembangkan oleh Gadamer, yang pemahamannya didasarkan pada basis filsafat fenomenologi Heidegger, Valdes (1987: 59-63) menyebut hal ini sebagai hermeneutika fenomenologi, dan terkait dengan nama-nama tokoh Heidegger, Gadamer, dan Ricoeur.
Untuk itu, jika kita menerima hermeneutika sebagai sebuah teori interpretasi reflektif, hermenetuika fenomenologis merupakan sebuah teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologis. Dasar dari hermeneutika fenomenologis adalah mempertanyakan hubungan subjek-objek dan dari pertanyaan inilah dapat diamati bahwa ide dari objektivitas perkiraan merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Hubungan ini bersifat mendasar dan fundamental (being-in-the-world) (Eagleton, 1983: 59-60).
Dalam hubungan tersebut, perlu pula disebut seorang tokoh bernama Paul Rocoeur. Ia dalah seorang tokoh setelah Gadamer yang dalam perkembangan mutakhir banyak mengembangkan hermeneutika dalam bidang sastra dan meneruskan pemikiran filosofi fenomenologis. Menariknya, dalam hermeneutika fenomenologis, ia menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang dipertanyakan yang berkenaan dengan teks yang akan diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks (Valdes, 1987: 60). Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan self-reflection dari pelaku interpretasi.
Jika dicermati, pernyataan Ricoeur tersebut tampak mengarah pada suatu pandangan bahwa interpretasi itu pada dasrnya untuk mengeksplikasi jenis being-in-the-world (Dasein) yang terungkap dalam dan melalui teks. Ia juga menegaskan bahwa pemahaman yang paling baik akan terjadi manakala interpreter berdiri pada self-understanding. Bagi Ricoeur, membaca sastra melibatkan pembaca dalam aktivitas refigurasi dunia, dan sebagai konsekuensi dari aktivitas ini, berbagai pertanyaan moral, filosofis, dan estetis tentang dunia tindakan menjadi pertanyaan yang harus dijawab (Valdes, 1987: 64).
Selain itu, ada satu hal prinsip lagi yang perlu diperhatikan sehubungan dengan pemahaman-khususnya dalam pemahaman terhadap teks sastra-adalah gagasan "lingkaran hermeneutika" yang dicetuskan oleh Dilthey dan yang diterima oleh Gadamer. Dalam studi sastra, gerak melingkar dari pemahaman ini amat penting karena gagasan ini menganggap bahwa untuk memahami objek dibatasi oleh konteks-konteks. Misalnya, untuk memahami bagian-bagian harus dalam konteks keseluruhan dan sebaliknya, dalam memahami keseluruhan harus memahami bagian per bagian. Dengan demikian, pemahaman ini berbentuk lingkaran. Dengan perkataan lain, untuk memahami suatu objek, pembaca harus memiliki suatu pra-paham, kemudian pra-paham itu perlu disadari lebih lanjut lewat makna objek yang diberikan. Pra-paham yang dimiliki untuk memahami objek tersebut bukanlah suatu penjelasan, melainkan suatu syarat bagi kemungkinan pemahaman. Lingkaran pemahaman ini merupakan "lingkaran produktif." Maksudnya, pemahaman yang dicapai pada masa kini, di masa depan akan menjadi pra-paham baru pada taraf yang lebih tinggi karena adanya pengayaan proses kognitif. Oleh karena itulah penafsiran terhadap teks dalam studi sastra pada prinsipnya terjadi dalam prinsip yang berkesinambungan.
Penutup
Keberadaan konsep hermeneutika sangat signifikan dalam interpretasi sastra. Dikatakan demikian karena hermeneutika memberikan model pemahaman -dan cara pemaknaan-yang sangat mendalam dan memacu interpreter pada pemahaman yang substansial.
Pandangan Lefevere bahwa hermeneutika tidak dapat dipakai sebagai dasar ilmiah studi sastra atau sebagai metode pemahaman teks sastra yang utuh, sebenarnya cukup beralasan karena dalam kenyataannya sastra membutuhkan pemahaman yang kompleks-yang berkaitan dengan teks, konteks, dan kualitas pembaca (interpreter).
Tiga varian hermeneutika (tradisional, dialektik, dan ontologis), masing-masing memiliki kelemahan. Dalam hubungan ini, sebetulnya yang terpenting bagi interpreter adalah bagaimana hermeneutika itu dapat diterapkan secara kritis agar tidak ketinggalan zaman. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis.
Sebuah interpretasi dalam teks sastra bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat definitif, melainkan perlu dilakukan terus-menerus, karena interpretasi terhadap teks itu sebenarnya tidak pernah tuntas dan selesai. Dengan demikian, setiap teks sastra senantiasa terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus. Proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan upaya rekreatif dan produktif. Konsekuensinya, maka peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna. Oleh karena itu, kiranya penting menyadari bahwa interpreter harus dapat membawa aktualitas kehidupannya sendiri secara intim menurut pesan yang dimunculkan oleh objek tersebut kepadanya.
Secara keseluruhan, dapatlah dinyatakan bahwa hermeneutika memang dapat diterapkan dalam interpretasi sastra. Dalam interpretasi sastra, hermeneutika tidak lagi hanya diletakkan dalam kerangka metodologis, tetapi ia sudah mengikuti pemikiran hermeneutika mutakhir yang berada dalam kerangka ontologis.
Catatan
1. Istilah verstehen diajukan oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode yang digunakan untuk mendekati produk-produk budaya, yakni menemukan dan memahami makna di dalamnya yang dapat dilakukan dengan menempatkannya dalam konteks.
2. Istilah erklaren ini mula-mula juga diajukan oleh Wilhelm Dilthey sebagai metode yang digunakan untuk mendekati objek ilmu-ilmu alam, yakni menjelaskan suatu kejadian menurut penyebabnya.
Daftar Pustaka
Eagleton, T. 1983. Literary Theory: An Introduction. London: Basil Blackwell.
Lefevere, A. 1977. Literary Knowledge: A Polemical and Programmatic Essay on Its Nature, Growth, Relevance and Transmition. Amsterdam: Van Gorcum, Assen.
Madison, G.B. 1988. The Hermeneutics of Postmodernity: Figures and Themes. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Valdes, M.J. 1987. Phenomenological Hermeneutical Hermeneutics and the Study of Literature. London: University of Toronto Press.

dikutip dari mesin pencari
mas google

Read more...

Sunday, October 26, 2008

Lulusan Terbaik Ulumuddin akan Dikirim ke Mesir

LHOKSEUMAWE - Tiga santri lulusan terbaik di Pesantren terpadu Ulumuddin Uteun Kot, Kecamatan Muara Dua, akan dikirim ke Mesir melanjutkan studinya. Segala biaya akan ditanggulangi Pemerintah Kota sampai mereka selesai kuliah.

Wacana bersifat janji lisan itu dijelaskan Walikota Munir Usman di depan seribuan santri Pesantren Terpadu Ulumuddin, Uteun Kot Cunda, Jumat (24/10), ketika melakukan kunjungan silaturahmi dengan pimpinan pesantren, dewan guru, dan santri. Mendengar janji itu disambut dengan tepukan tangan, bahkan sampai malam hari menjadi pembicaraan bagi kalangan santri.



Menurut Walikota, wacana tersebut akan dicoba mulai tahun pelajaran 2008/2009, namun semuanya akan diajukan melalui anggaran APBK dalam sidang Paripurna DPRK.

“Kalau DPRK menyetujui dana anggaran untuk membiayai mereka tiap tahun, akan terpenuhi,” kata Munir Usman kepada santri yang didampingi Pimpinan Pesantren Terpadu Ulumuddin, Tgk H Syamaun Risyad Lc.

Tgk H Syamaun Risyad, dalam kesempatan kunjungan kerja Walikota melaporkan beberapa keluhan santri, antara lain tentang terbatasnya lokasi belajar, pembangunan masjid, dan krisis air bersih. Pesantren itu juga butuh WC di tingkat dua, sumur bor, serta beberapa kebutuhan lainnya yang selama ini dikeluhkan.

Menurut H Syamaun, pesantren itu membutuhkan satu unit bak air dengan ukuran 20 X 20 meter untuk lebih mudah para santri berudhuk dan juga mandi. Selain itu juga satu unit sumur bor yang diperkirakan akan menelan dana sekitar Rp 250 juta.

Selama ini, katanya, panitia pembangunan di pesantren itu sedang membangun masjid ukuran 35 X 35 meter bertingkat dua. Dana bangunan selama ini diberikan oleh masyarakat, wali santri dan bantuan pihak lain, sehingga bangunan masjid yang mampu menampung 2.000 jamaah itu sudah rampung 50 persen. Untuk menyelesaikan sangat diharapkan bantuan semua pihak, bahkan kepada Walikota juga telah diminta bantuan melalui proposal.(ib)

Read more...

Saturday, October 25, 2008

REALITA UMAT ISLAM SEKARANG

Tidak dapat dipungkiri bahwa era sekarang adalah Era Amerika Serikat (al-Ashr al-Amriki). Seluruh dunia memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap AS, Israel dan sekutunya. AS dan Eropa yang beragama Nashrani dan Israel yang Yahudi sangat kuat mencengkeram dunia Islam. Bahkan sebagiannya dibawah kendali langsung mereka seperti Arab Saudi, Kuwait, Mesir, Irak dan lain-lain. Realitas yang buruk ini telah diprediksikan oleh Rasulullah saw. dalam haditsnya: Dari Said Al-Khudri, dari Nabi saw bersabda:" Kamu pasti akan mengikuti sunah perjalanan orang sebelummu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta hingga walaupun mereka masuk lubang biawak kamu akan mengikutinya". Sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah saw apakah mereka Yahudi dan Nashrani". Rasul saw menjawab, "Siapa lagi!" (H.R. Bukhari dan Muslim)



Beginilah nasib dunia Islam di akhir jaman yang diprediksikan Rasulullah saw. Mereka akan mengikuti apa saja yang datang dari Yahudi dan Nashrani, kecuali sedikit diantara mereka yang sadar. Dan prediksi tersebut sekarang benar-benar sedang menimpa sebagian besar umat Islam dan dunia Islam.

Dari segi kehidupan sosial, sebagian besar umat Islam hampir sama dengan mereka. Hiburan yang disukai, mode pakaian yang dipakai, makanan yang dinikmati, film-film yang ditonton, bebasnya hubungan lawan jenis dan lain-lain. Pola hidup sosial Yahudi dan Nashrani melanda kehidupan umat Islam dengan dipandu media massa khususnya televisi.

Dalam kehidupan ekonomi, sistem bunga atau riba mendominasi persendian ekonomi dunia dimana dunia Islam secara terpaksa atau sukarela harus mengikutinya. Riba' yang sangat zhalim dan merusak telah begitu kuat mewarnai ekonomi dunia, termasuk dunia Islam. Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF, Bank Dunia, WTO dll mendikte semua laju perekonomian di dunia Islam. Akibatnya krisis ekonomi dan keuangan disebabkan hutang dan korupsi menimpa sebagian besar dunia Islam.

Begitu juga pengekoran umat Islam terhadap Yahudi dan Nashrani terjadi dalam kehidupan politik. Politik dibangun atas dasar nilai-nilai sekuler, mencampakkan agama dan moral dalam dunia politik, bahkan siapa yang membawa agama dalam politik dianggap mempolitisasi agama. Begitu buruknya kehidupan politik umat Islam, sampai departemen yang mestinya mencerminkan nilai-nilai Islam, yaitu departemen agama, menjadi departemen yang paling buruk dan sarang korupsi.
WAHN

Buruknya realitas sosial politik umat Islam di akhir zaman disebutkan dalam sebuah hadits Rasulullah saw., beliau bersabda: Dari Tsauban berkata, Rasulullah saw. bersabda, "Hampir saja bangsa-bangsa mengepung kamu, seperti kelompok orang lapar siap melahap makanan". Berkata seorang sahabat, "Apakah karena jumlah kami sedikit pada waktu itu?" Rasul saw. menjawab, "Jumlah kalian pada saat itu banyak, tetapi kualitas kalian seperti buih ditengah lautan. Allah mencabut rasa takut dari musuh terhadap kalian, dan memasukkan kedalam hati kalian penyakit Wahn". Berkata seorang sahabat, "Wahai Rasulullah saw., apa itu Wahn?" Rasul saw. berkata, "Cinta dunia dan takut mati." (H.R. Ahmad dan Abu Daud)

Inilah sebab utama dari realitas umat Islam, yaitu wahn. Penyakit cinta dunia dan takut mati sudah menghinggapi mayoritas umat Islam, sehingga mereka tidak ditakuti lagi oleh musuh, bahkan menjadi bulan-bulanan orang kafir. Banyak umat Islam yang berkhianat dan menjadi kaki-tangan musuh Islam, hanya karena iming-iming dunia. Bangsa Amerika, Israel dan sekutunya menjadi kuat di negeri muslim, karena di setiap negeri muslim banyak agen dan boneka AS dan Israel. Bahkan yang lebih parah dari itu, bahwa agen AS dan Israel itu adalah para penguasa negeri muslim sendiri atau kelompok yang dekat dengan penguasa.

Dunia dengan segala isinya seperti harta, tahta dan wanita sudah sedemikian kuatnya memperbudak sebagian umat Islam sehingga mereka menjadi budak para penjajah, baik AS Nashrani dan Israel Yahudi. Dan pada saat mereka begitu kuatnya mencintai dunia dan diperbudak oleh dunia, maka pada saat yang sama mereka takut mati. Takut mati karena takut berpisah dengan dunia dan takut mati karena banyak dosa. Demikianlah para penguasa dunia Islam diam, pada saat AS membantai rakyat muslim Irak, dan Israel membantai rakyat muslim Palestina.

MENGIKUTI YAHUDI DAN NASHRANI
Kecenderungan yang kuat terhadap dunia atau wahn, menyebabkan umat Islam mengekor dan tunduk patuh kepada dunia barat yang notabenenya dikuasi Yahudi dan Nashrani. Dan ketika umat Islam mengikuti Yahudi dan Nashrani, maka banyak sekali kemiripan dengan meraka. Beberapa kemiripian dan sikap mengekor yang dilakukan umat Islam terhadap Yahudi dan Nashrani, di antaranya:

I. PENYIKAPAN TERHADAP AGAMA (SEKULER)
Kaum Yahudi dan Nashrani bersikap sekuler dalam kehidupan. Mereka mencampakkan agama dari kehidupan sosial politik. Dalam memandang sesuatu, Kaum Yahudi dan Nashrani tidak berdasarkan agama mereka. Ruang lingkup agama dipersempit hanya di tempat-tempat ibadah saja. Sedangkan kehidupan sosial politik jauh dari nilai-nilai agama. Karena mereka meyakini bahwa agama sudah tidak berfungsi lagi untuk memberikan solusi kehidupan.

Gerakan sekuler tumbuh dan berkembang di dunia barat, dan berkembang ke seluruh penjuru dunia seiring dengan datangnya para penjajah barat ke dunia Islam. Maka berkembanglah sekulerisme di dunia Islam. Kehidupan sosial politik di negara-negara Islam jauh dari nilai-nilai ke-Islaman dan sekulerisme begitu sangat kuatnya di dunia Islam.

Sedangkan di Indonesia, sekulerisme sangat mudah dibaca dan sangat transparan. Jika kita melihat partai-partai politik, maka mayoritasnya partai sekuler, sampai partai yang basis masanya ormas Islam sekalipun, masih sangat kental dengan nilai-nilai sekulernya. Sekulerisme begitu sangat dalam masuk dalam sendi-sendi kehidupan sosial politik di Indonesia. Simbol-simbol pemerintahan, pakaian masyarakat, bahasa yang digunakan dll sarat dari nilai-nilai sekulerisme. Sementara dakwah Islam, masih sangat sedikit yang mengajak pada kesempurnaan Islam dan penerapannya dalam kehidupan masyarakat. Dakwah yang dominan di Indonesia adalah dakwah tasawuf yang mengajak pada dzikir yang sektoral, pembinaan dan manajemen hati yang sektoral dan sejenisnya.

Read more...

Banyak amal tetapi banyak dosa

Sebagian manusia telah menganggap remeh atas dosa-dosa mereka, mereka menganggap bahwa kebaikan-kebaikan mereka sudah terlalu banyak sehingga akan menenggelamkan dosa-dosa yang mereka lakukan. Padahal jika seseorang meremehkan dosa-dosa, maka sungguh ia telah terpedaya oleh syaitan



Sebagian manusia telah menganggap remeh atas dosa-dosa mereka, mereka menganggap bahwa kebaikan-kebaikan mereka sudah terlalu banyak, mereka menganggap bahwa amalan-amalan shalih mereka sudah begitu melimpah sehingga pahala yang mereka kumpulkanpun sudah begitu menggunung. Mereka menganggap bahwa shalat malamnya, puasa senin kamisnya, haji dan umrahnya, infaqnya dan seterusnya dari amalan-amalan shalih yang mereka kerjakan akan seperti lautan yang akan menenggelamkan dosa-dosa yang mereka lakukan. Jika seseorang menganggap remeh suatu dosa, ketahuilah bahwa sesungguhnya dia telah terpedaya oleh syaitan, walaupun mereka telah banyak beramal dengan amalan-amalan ketaatan.

Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...
Allah ta'ala memberikan permisalan tentang orang yang telah mengumpulkan banyak kebaikan akan tetapi nanti di akhirat, amalan kebaikan yang diandalkannya tidak dapat banyak bermanfaat, Allah berfirman
”Apakah ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang mengandung api, lalu terbakarlah, Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada kamu supaya kamu memikirkannya. (QS. Al-Baqarah:266)

Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma ketika menjelaskan ayat di atas, beliau mengilustrasikan dengan orang kaya yang beramal karena taat kepada Allah, kemudian Allah mengutus setan padanya, lalu orang itu melakukan banyak kemaksiatan sehingga amal-amalnya terhapus (Tafsir Ibnu Katsier)

Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...
Janganlah sekali-kali kita meremehkan dosa karena kita menganggap sudah mempunyai amal kebaikan yang banyak. Ketahuilah wahai saudaraku bahwa belum tentu amal kebaikan yang kita kerjakan dihitung sebagai amal shaleh di sisi Allah, apakah karena kita tidak ikhlas atau tidak sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam. Selain itu, amal kebaikan juga akan dapat terhapus dengan kemaksiatan-kemaksiatan.

Tsauban radhiaallahu'anhu meriwayatkan sebuah hadits yang dapat membuat orang-orang shalih susah tidur dan selalu mengkhawatirkan amal-amal mereka. Tsauban radhiaallahu'anhu berkata, Rasulullah shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
Aku benar-benar melihat diantara umatku pada hari Kiamat nanti, ada yang datang dengan membawa kebaikan sebesar gunung di Tihamah yang putih, lalu Allah menjadikannya seperti kapas berterbangan, Tsauban bertanya, Ya Rasulullah, jelaskan kepada kami siapa mereka itu agar kami tidak seperti mereka sementara kami tidak mengetahui!, Beliau bersabda, Mereka adalah saudara-saudara kalian dan sebangsa dengan kalian, mereka juga bangun malam seperti kalian, akan tetapi apabila mendapat kesempatan untuk berbuat dosa, mereka melakukannya (HR. Ibnu Majah, disahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Silsilatul Ahaadits Shahihah No,505)

Saudaraku, masihkah kita merasa bangga dengan amal-amal kita kemudian berbuat dosa dan menganggap bahwa dosa kita akan tenggelam dalam lautan amalan shalih kita.

Maka wajib bagi kita untuk senantiasa bersabar, bersabar dan bersabar. Sabar dalam melaksanakan ketaatan dan sabar dalam menjauhi dosa-dosa.

Semoga Allah merahmati Imam Ahmad yang mengatakan bahwa sabar adalah terus menerus sampai seseorang menapakkan kakinya di Surga kelak.

Ketika seseorang bertanya kepada Abu Hurairah radhiallahu'anhu tentang makna takwa, Abu Hurairah kemudian bertanya kepada orang tersebut, Apakah engkau pernah melewati jalan yang berduri? Ia menjawab, Ya pernah. Abu Hurairah bertanya lagi, Apa yang engkau lakukan, Ia menjawab, Jika aku melihat duri maka aku menghindar darinya, atau melangkahinya, atau mundur darinya, Abu Hurairah berkata, Seperti itulah takwa

Maka bukanlah dikatakan takwa jika seseorang sengaja menerjang rambu-rambu syariat, mengerjakan apa-apa yang diharamkan oleh Allah atau meninggalkan apa-apa yang diperintahkan-Nya.

Kemudian kita juga harus takut karena kita tidak tau kapan ajal akan menjemput! Kalau kita amati disekitar kita, maka kita dapati bahwa jumlah manula lebih sedikit daripada orang muda dan anak-anak, hal ini menunjukkan bahwa kebanyakan manusia meninggal dalam usia muda, maka waspadalah!

Wahai saudaraku yang semoga Allah melimpahkan rahmat kepadamu...
Terakhir saudaraku, hendaknya kita senantiasa bertakwa dan tidak meremehkan dosa-dosa agar kita tidak seperti yang digambarkan dalam ayat dan hadits di atas, semoga Allah menjadikan kita nanti, termasuk yang diseru dalam firman-Nya
Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku, Maka masuklah ke dalam Surga-Ku (Al-Fajr: 27-30)

Referensi
1. Tafsir Ibnu Katsier
2. Silsilatul Ahaadits Shahihah, Syaikh Al-Bany
3. Jami' ulumul wal hikam, Ibnu Rajab

Read more...

Puasa Politik.

Ada penggal waktu untuk jeda. Seperti pepohonan yang meranggas di musim gugur. Saat dedaunan luluh simpuh, gugur-tafakur, pulang ke akar, menjadi pupuk kehidupan. Adapun bagimu, insan beriman, jeda itu bernama Ramadan, yang berarti pembakaran. Saat gumpalan lemak jasmani, nafsani, dan rohani sebagai parasit kehidupan memasuki kremasi penetralan.


Tradisi puasa seumur usia agama-agama. Ketika panggilannya tiba, pedang disarungkan, api dendam diredupkan, ambisi kuasa diredam, untuk memberi sela bagi salam (damai). Di dalam jeda, siapa tahu mata hati yang tertutup awan dendam, kabut kekuasaan, dan gelap kesadaran menemukan berkas sinar.

Puasa mengingatkan manusia bahwa keluhuran jati dirinya jauh melampaui nilai benda dan kuasa; bahwa nafsu at-takatsur (menimbun harta).
Puasa mengingatkan manusia bahwa keluhuran jati dirinya jauh melampaui nilai benda dan kuasa; bahwa nafsu at-takatsur (menimbun harta, memperluas pengaruh, dan eksploitasi pengetahuan) telah melalaikan manusia hingga membiarkan dirinya menjadi sekadar faktor produksi, budak kekuasaan, dan alat percobaan. Dan di dalam gravitasi syahwati ini, fitrah agama sebagai pengemban misi keadilan, cinta kasih, dan kewarasan justru secara tragis berubah menjadi penasbih misi penindasan, penghancuran, dan pembodohan.
Di manakah berkah agama jika risalahnya sekadar konsumsi "goyang lidah" yang kedalamannya sebatas tenggorakan? Di manakah misi penyempurnaan akhlak jika agama hanya dijadikan kemasan pemasaran, pangkal perbantahan, dan dalih kekuasaan? Bukankah suatu ironi yang memilukan bahwa aktor utama "komedi omong" ini justru para pemuka agama sendiri?
Di masa sulit ketika orang kecil menjerit, pemuka agama "menjual" ayat untuk menidurkan keresahan, lantas memberi teladan akhlak dengan mengoleksi barang-barang mewah. Tokoh-tokoh organisasi keagamaan yang lain tak kalah "pesona". Satu per satu terjerat korupsi atau melakukan pelanggaran susila. Selebihnya, agama tak habis-habisnya dijadikan sengketa interpretasi dalam persaingan pendakuan kebenaran, sebagai mesiu dalam perebutan kekuasaan.
Bahkan mereka yang sejauh ini terlibat dalam pemberdayaan masyarakat pun hanyut dalam godaan kekuasaan. Bukan untuk memperbaiki keadaan, melainkan berhenti pada rebutan sumber daya kuasa. Sedemikian rupa, sehingga kita tak sempat menyaksikan perwujudan lain gairah keagamaan selain sekadar "budak nafsu".
Jika agama sebagai landasan kritik terhadap berhala/korupsi kebendaan, kekuasaan, dan pengetahuan telah menjadi fosil; sementara orang kebanyakan belum menemukan sumber moralitas lain di luar itu, bagaimana bisa yakin bahwa segala percobaan reformasi politik bisa menuju husnul khatimah. Bukankah seorang sosialis-anarkis semacam Pierre-Joseph Proudhon sekalipun pernah bilang, "Reformasi sosial tidak akan pernah muncul hanya dari reformasi politik, tetapi reformasi politik mesti tumbuh dari reformasi sosial."
zulfikar payback: Tengoklah, demonstrasi demi demonstrasi, kerusuhan demi kerusuhan, diskusi demi diskusi, persidangan demi persidangan, penggulingan demi penggulingan. Semuanya berakhir pada "komedi omong". Dihadapkan pada tuntutan perubahan, para elite politik masih mengedepankan syahwat kepentingannya ketimbang kemaslahatan umum.
Akrobat demi akrobat politik yang dipertunjukkan wakil-wakil rakyat di Senayan makin jelas menunjukkan kebangkrutan moral kepemimpinan. Padahal, sejarah bertubi-tubi menunjukkan, bilamana pusat pemerintahan sebagai pusat teladan tak bisa lagi dipercaya, kerusuhan dan gerakan-gerakan apokaliptik di wilayah pinggiran akan segera meledak.
Jeda Ramadan diharapkan menjadi momen refleksi diri, memulihkan tenaga rohani untuk membakar benalu yang mengerdilkan moralitas agama. Ramadan memberi kesadaran bahwa hasrat menimbun, berkuasa, dan berpengaruh tak pernah ada puasanya kecuali dengan puasa (pengendalian diri). Kekuatan self restrain merupakan akar tunjang semua usaha pengendalian sosial.
Ibadah puasa merupakan training ground untuk itu. Kekuatan kendali diri tentu saja harus diperkuat oleh mekanisme kontrol sosial yang mangkus. Ibadah-ibadah sosial yang lain di bulan suci, mulai salat berjamaah hingga zakat fitrah, mestinya menjadi wahana pelatihan kepekaan dan kepatutan sosial.
Sekiranya semua warga mampu "berpuasa", gumpalan lemak yang berlebih pada satu kelompok bisa disalurkan menjadi energi hidup bagi kelompok lain, tidak menjelma menjadi kolesterol keserakahan sebagai biang kelumpuhan sosial. Seperti dedaunan yang jatuh di musim gugur bisa memupuk rerumputan di bawah dan sekelilingnya. Sesekali kita pun perlu meranggas, membiarkan egosentrisme terbakar, tersungkur sujud, menginsafi kefanaan dan menerbitkan hasrat untuk berbagi, membuka diri penuh cinta untuk yang lain.
Pembakaran dan pengorbanan niscaya tidaklah sia-sia. Kematian sesaat akan menumbuhkan kehidupan yang lebih rekah-berkah. Musim semi akan segera menjemput. Dedaunan kembali menghijau. Bunga mekar-segar. Burung-burung pun bernyanyi. Saatnya untuk bercinta. Seperti firman Tuhan, "Sekiranya penduduk suatu negeri 'beriman' (berkhidmat pada kebenaran) dan 'bertakwa' (berakhlak mulia), niscaya akan Kubukakan pintu-pintu berkah dari langit dan bumi."
(ARTIKEL FROM "zulfikar payback" )-;

'

Read more...

Monday, October 20, 2008

Hadist pilihan

Dalam Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim disebutkan:
"Manakah amalan yang paling dicintai Allah? Baginda menjawab: "Solat
tepat pada waktunya." Dia (Abdullah) bertanya lagi: "Kemudian
apa?" Baginda menjawab:
"Berbuat baik kepada kedua orang tua." Dia bertanya lagi:
"Kemudian apa?" Baginda menjawab: "Jihad di jalan Allah."


"Akan datang suatu masa, umat lain akan memperebutkan kamu, ibarat
orang-orang yang lapar merebutkan makanan dalam hidangan." Sahabat
menanyakan: "Apakah lantaran pada waktu itu jumlah kami hanya sedikit, Ya
rasulullah?" Dijawab oleh baginda: "Bukan, bahkan sesungguhnya jumlah
kamu pada waktu itu banyak, tetapi kualiti kamu ibarat buih yang terapung-apung
diatas air. Dan dalam jiwamu tertanam kelemahan jiwa." Sahabat bertanya:
"Apa yang dimaksudkan dengan kelemahan jiwa Ya Rasulullah?" Baginda
menjawab: "Iaitu cinta dunia dan takut mati."
(Riwayat Abu Daud)

Hadis Pertama
" Dari Amirul Mukminin Umar Al-Khattab r.a katanya : " Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : - ' Hanyasanya amalan-amalan itu adalah ( bergantung ) kepada niat, dan hanyasanya bagi setiap manusia itu apa ( balasan ) yang diniatkannya. Maka barangsiapa yang berhijrah kepada Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu adalah kepada Allah dan RasulNya. Dan barangsiapa yang berhijrah kerana dunia yang ingin ia memperolehinya atau kerana seorang perempuan yang ingin ia menikahinya, maka hijrahnya itu adalah atas apa yang ia berhijrah kerananya.'
Hadis Kedua
Dari Umar Ibnul-Khattab r.a, katanya : Sedang kami duduk di dalam majlis bersama Rasulullah SAW pada suatu hari, tiba-tiba mucul di dalam majlis itu seorang laki-laki yang berpakaian serba putih, berrambut terlalu hitam, tiada kesan bahawa ia seorang musafir, dan tiada antara kami yang mengenalinya, lalu duduk ia bersama Rasulullah SAW, dan ditemukan kedua lututnya dengan kedua lutut Rasulullah SAW serta diletakkan kedua tapak tangannya ke atas kedua paha Rasulullah SAW, lalu berkata :
Sipemuda : Khabarkan aku tentang Islam ?
Rasulullah : Islam, iaitu hendaklah mengucap syahadat - bahawa tiada Tuhan melainkan Allah Ta'ala dan bahawasanya Muhammad itu Rasulullah, dan hendaklah bersembahyang, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan dan menunaikan haji ke Baitullah apabila berdaya ke sana.
Sipemuda : Benar katamu.
( Berkata Umar r.a : Kami merasa hairan kepada tingkah laku sipemuda itu, dia yang bertanya dan dia pula yang mengiyakannya )
Sipemuda : Khabarkanlah kepada ke tentang Iman ?
Rasulullah : Hendaklah engkau beriman kepada Allah, Malaikat-MalaikatNya, Kitab-KitabNya, Rasul-RasulNya, Hari Akhirat dan hendaklah engkau beriman kepada taqdir Allah yang baikNya atau yang burukNya.
Sipemuda : Benar katamu ! Khabarkanlah kepadaku tentang Ihsan ?
Rasulullah : Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya. Sekiranya engkau tidak dapat melihatNya sesungguhnya Allah sentiasa dapat melihat engkau.
Sipemuda : Khabarkan padaku tentang hari kiamat ?.
Rasulullah : Tiadalah orang yang ditanya itu lebih mengetahui dari orang yang bertanya.
Sipemuda : Khabarkan padaku tentang tanda-tandanya ?
Rasulullah : Apabila hamba perempuan melahirkan tuannya sendiri ; Apabila engkau melihat orang yang berkaki ayam, tidak berpakaian, pengembala kambing ( berbangga ) membina bangunan yang tinggi-tinggi.
( Kemudian beredar keluar sipemuda itu dari majlis tersebut ) :
Rasulullah : Tahukan anda wahai Umar siapakah pemuda yang menyoal kau tadi ?
Umar Al-Khattab : Allah dan RasulNya jua yang mengetahui.
Rasulullah : Itulah Jibril a.s yang telah mendatangi aku untuk mengajarkan kamu pelajaran agama kamu.

Hadis Keempat
" Dari Abu Abdul Rahman, Abdullah bin Mas'ud r.a, katanya Rasulullah SAW telah menceritakan kepada kami, sedangkan baginda seorang yang benar dan dibenarkan kata-katanya, sabdanya : ' Sesungguhnya sesaorang kamu dikumpulkan kejadiannya dalam perut ibunya selama 40 hari berupa setitik air mani, kemudian menjadi segumpal darah selama itu pula, kemudian seketul daging seperti yand demikian itu juga, iaitu 40 hari. Kemudian diutuskan kepadanya malaikat, lalu ditiupkan roh kepadanya dan diperintahkan menulis empat pekara : rezekinya, ajalnya, amalannya, celaka dan bahagianya. Maka demi Allah yang tiada Tuhan selain daripadaNya, sesungguhnya sesaorang kamu itu tetap akan beramal dengan amalan ahli syurga sehinggalah di antaranya dengan syurga itu jaraknya cuma sehasta sahaja. Tiba-tiba dia telah didahului oleh tulisannya ( suratan takdir ) sehingga dia beramal dengan amalan ahli neraka, maka masuklah ia ke dalam neraka. Dan sesungguhnya sesaorang kamu tetap akan beramal dengan amalan ahli neraka sehinggalah di antara dirinya dengan neraka cuma sehasta saja. Tiba-tiba dia telah didahului oleh tulisannya sehingga dia beramal dengan amalan ahli syurga, maka akhirnya masuklah dia ke dalam syurga itu. "

Marilah sama-sama kita merenungkan kembali apa yang telah kita perbuat

Read more...

  © Professional Template Design by Murtadha 2008-2009

Back to TOP